Sabtu, 11 Agustus 2012

Sangkuriang

Legenda Sangkuriang berkisah tentang terciptanya danau Bandung, Gunung Tangkuban Parahu, Gunung Burangrang, dan Gunung Bukit Tunggul. Dari legenda ini para ahli Geologi dapat menentukan umur Kisunda yang hidup didaerah Bandung berdasarkan fakta geologi, diperkirakan bahwa orang Sunda telah hidup didataran ini sejak beribu tahun sebelum Masehi.

Legenda Sangkuriang awalnya hanya merupakan tradisi li-san, atau dongeng anak sebelum tidur, bahkan banyak meng anggap cerita tahayul yang tidak masuk akal. Ada juga yang menafsirkan kisah ini sebagaimana mempersepsi tentang Kisah Si Malin Kundang, bahkan ada pula yang nyinyir menye butkan urang sunda sebagai keturunan Si Tumang. Namun beberapa ahli menelusuri kisah ini, dan menghubungkan dengan kondisi Geologi, dimana kisah ini di ceritakan. Pada ahir nya kisah ini menemukan tentang sejarah awal daerah Bandung, bahwa pada masa lalu bandung adalah sebuah danau purba, dan cekungannya sampai saat ini masih nampak dari ketinggian pinggiran kota Bandung.

Legenda Sangkuriang memiliki kesesuaian dengan fakta geologi terciptanya Danau Bandung dan Gunung Tangkuban Pa rahu. Dari penelitian geologis menunjukkan bahwa sisa-sisa danau purba sudah berumur 125 ribu tahun. Danau tersebut mengering pada 16.000 tahun yang lalu. Data lainnya menun jukkan, bahwa memang telah terjadi dua letusan GUNUNG SUNDA purba dengan tipe letusan Plinian, masing-masing 105.000 dan 55.000-50.000 tahun yang lalu. Letusan plinian kedua telah meruntuhkan kaldera Gunung Sunda purba se-hingga menciptakan Gunung Tangkuban Parahu, Gunung Bu rangrang, disebut juga Gunung Sunda, dan Gunung Bukittung gul.

Data ini pun dapat meyakinkan bahwa orang Sunda purba telah menempati dataran tinggi Bandung dan menyaksikan letusan Plinian kedua yang menyapu pemukiman sebelah ba rat Citarum (utara dan barat laut Bandung) selama periode letusan pada 55.000-50.000 tahun yang lalu saat Gunung Tangkuban Parahu tercipta dari sisa-sisa Gunung Sunda pur ba. Masa ini adalah masanya Homo sapiens; mereka telah teridentifikasi hidup di Australia selatan pada 62.000 tahun yang lalu, semasa dengan Manusia Jawa (Wajak) sekitar 50.000 tahun yang lalu.

Rujukan tertulis mengenai legenda Sangkuriang tercantum didalam naskah Bujangga Manik, yang ditulis pada daun lontar oleh seorang Pangeran Pajajaran pada akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16 Masehi. Dalam naskah tersebut ditulis bahwa Pangeran Jaya Pakuan alias Pangeran Bujangga Manik atau Ameng Layaran mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di pulau Jawa dan pulau Bali pada akhir abad ke-15. Setelah melakukan perjalanan panjang, Bujangga Manik tiba di tempat yang sekarang menjadi kota Bandung. Dia menjadi saksi mata yang pertamakali menuliskan nama tem pat legendanya. Laporannya adalah sebagai berikut:

Leumpang aing ka baratkeun
Datang ka Bukit Patenggeng
Sakakala Sang Kuriang
Masa dek nyitu Citarum

Burung tembey kasiangan Aku berjalan ke arah barat
datang ke Gunung Patenggeng
tempat legenda Sang Kuriang
Waktu akan membendung Citarum
tapi gagal karena kesiangan
Legenda Sangkuriang dipersepsi manusia saat ini untuk ke perluan :

(1) Mengetahui peristiwa Geologi yang terkait dengan penge-tahuan tentang asal muasal wilayah Bandung. Selain itu saat ini sudah berkembang mengenai penelitian Cekung an Bandung ;

(2) Mengetahui falsafah Ki Sunda Buhun yang terkait dida-lam Legenda Sangkuriang. Karena tentunya, legenda Sang kuriang ini ada dibuat untuk menyampaikan pesan kepa da generasi sesudahnya.

***

Legenda Sangkuriang secara singkat, yang penulis ambil dari Sangkuriang (Legenda: http://id.wikipedia.org/wiki/Sangku riang_legenda, tanggal 18 Juli 2012), sebagai berikut : Diki-sahkan di kahyangan hiduplah sepasang dewa dan dewi yang berbuat kesalahan, maka oleh Sang Hyang Tunggal mereka di kutuk turun kebumi dalam wujud hewan. Sang dewi beru bah menjadi babi hutan (celeng) bernama CELENG WAYUNG HYANG, sedangkan sang dewa berubah menjadi anjing berna ma SI TUMANG. Mereka harus turun ke bumi menjalankan hu kuman dan bertapa mohon pengampunan agar dapat kemba li ke wujudnya menjadi dewa-dewi kembali.

Di Marcapada Raja Sungging Perbangkara tengah pergi ber buru. Di tengah hutan Sang Raja membuang air seni yang ter tampung dalam daun ''caring'' (keladi hutan), dalam versi la in disebutkan air kemih sang raja tertampung dalam batok kelapa. Seekor babi hutan betina bernama Celeng Wayung Hyang yang tengah bertapa sedang kehausan, ia kemudian tanpa sengaja meminum air seni sang raja tadi. Wayung Hyang secara ajaib hamil dan melahirkan seorang bayi yang cantik, karena pada dasarnya ia adalah seorang dewi. Bayi cantik itu ditemukan di tengah hutan oleh sang raja yang ti dak menyadari bahwa ia adalah putrinya. Bayi perempuan itu dibawa ke keraton oleh ayahnya dan diberi nama DAYANG SUMBI ALIAS RARASATI. Dayang Sumbi tumbuh menjadi gadis yang amat cantik jelita. Banyak para raja dan pangeran yang ingin meminangnya, tetapi seorang pun tidak ada yang di- terima. Akhirnya para raja saling berperang di antara sesama nya.

Dayang Sumbi mengasingkan diri kesebuah bukit ditemani seekor anjing jantan yaitu Si Tumang. Ketika sedang asyik me nenun kain, torompong (torak) yang tengah digunakan ber tenun kain terjatuh ke ba wah bale-bale. Dayang Sumbi kare na merasa malas, terlontar ucapan tanpa dipikir dulu, dia berjanji siapa pun yang meng ambilkan torak yang terjatuh bila berjenis kelamin laki-laki, akan dijadikan suaminya, jika perempuan akan dijadikan sau darinya. Si Tumang mengam bilkan torak dan diberikan kepada Dayang Sumbi. Akibat per kataannya itu Dayang Sumbi harus memegang teguh persum pahan dan janjinya, maka ia pun harus menikahi si Tumang. Karena malu, kerajaan mengasingkan Dayang Sumbi ke hu tan untuk hidup hanya dite mani si Tumang. Pada malam bu lan purnama, si Tumang dapat kembali kewujud aslinya seba gai dewa yang tampan, Dayang Sumbi mengira ia bermimpi bercumbu dengan dewa yang tampan yang sesungguhnya adalah wujud asli si Tumang. Maka Dayang Sumbi akhirnya melahirkan bayi laki-laki yang diberi nama SANGKURIANG. Sangkuriang tumbuh menjadi anak yang kuat dan tampan.

Suatu ketika Dayang Sumbi tengah mengidamkan makan hati menjangan, maka ia memerintahkan Sangkuriang ditemani si Tumang untuk berburu kehutan. Setelah sekian lama Sang kuriang berburu, tetapi tidak nampak hewan buruan seekor pun. Hingga akhirnya Sangkuriang melihat seekor babi hutan yang gemuk melarikan diri. Sangkuriang menyuruh si Tu-mang untuk mengejar babi hutan yang ternyata adalah Ce-leng Wayung Hyang. Karena si Tumang mengenali Celeng Wa yung Hyang adalah nenek dari Sangkuriang sendiri maka si Tumang tidak menurut. Karena kesal Sangkuriang mena kut-nakuti si Tumang dengan panah, akan tetapi secara tak senga ja anak panah terlepas dan si Tumang terbunuh tertusuk anak panah. Sangkuriang bingung, lalu karena tak dapat he wan buruan maka Sangkuriang pun menyembelih tubuh si Tumang dan mengambil hatinya. Hati si Tumang oleh Sangku riang diberikan kepada Dayang Sumbi, lalu dimasak dan di makannya. Setelah Dayang Sumbi mengetahui bahwa yang dimakannya adalah hati si Tumang, suaminya sendiri, maka kemarahannya pun memuncak serta-merta kepala Sangku riang dipukul dengan sendok yang terbuat dari tempurung kelapa sehingga terluka.

Sangkuriang ketakutan dan lari meninggalkan rumah. Da yang Sumbi yang menyesali perbuatannya telah mengusir anaknya, mencari dan memanggil-manggil Sangkuriang ke hutan memohonnya untuk segera pulang, akan tetapi Sang kuriang telah pergi. Dayang Sumbi sangat sedih dan memo hon kepada Sang Hyang Tunggal agar kelak dipertemukan kembali dengan anaknya. Untuk itu Dayang Sumbi menjalan kan tapa dan laku hanya memakan tumbuh-tumbuhan dan sa yuran mentah (lalapan). Sangkuriang sendiri pergi mengem bara mengelilingi dunia. Sangkuriang pergi berguru kepada banyak pertapa sakti, sehingga Sangkuriang kini bukan bo cah lagi, tetapi telah tumbuh menjadi seorang pemuda yang kuat, sakti, dan gagah perkasa. Setelah sekian lama berjalan ke arah timur akhirnya sampailah di arah barat lagi dan tan pa sadar telah tiba kembali di tempat Dayang Sumbi, ibunya berada. Sangkuriang tidak mengenali bahwa putri cantik yang ditemukannya adalah Dayang Sumbi - ibunya. Karena Dayang Sumbi melakukan tapa dan laku hanya memakan tanaman mentah, maka Dayang Sumbi menjadi tetap cantik dan awet muda. Dayang Sumbi pun mulanya tidak menyadari bahwa sang ksatria tampan itu adalah putranya sendiri. Lalu kedua insan itu berkasih mesra. Saat Sangkuriang tengah ber sandar mesra dan Dayang Sumbi menyisir rambut Sangku riang, tanpa sengaja Dayang Sumbi mengetahui bahwa Sang kuriang adalah putranya, dengan tanda luka di kepalanya, bekas pukulan sendok Dayang Sumbi. Walau demikian Sang kuriang tetap memaksa untuk menikahinya. Dayang Sumbi sekuat tenaga berusaha untuk menolak. Maka ia pun bersia sat untuk menentukan syarat pinangan yang tak mungkin di penuhi Sangkuriang. Dayang Sumbi meminta agar Sangkuri ang membuatkan perahu dan telaga (danau) dalam waktu semalam dengan membendung sungai Citarum. Sangkuriang menyanggupinya.

Maka dibuatlah perahu dari sebuah pohon yang tumbuh di arah timur, tunggul/pokok pohon itu berubah menjadi gu nung Bukit Tanggul. Rantingnya ditumpukkan di sebelah ba rat dan menjadi Gunung Burangrang. Dengan bantuan para guriang (makhluk halus), bendungan pun hampir selesai di kerjakan. Tetapi Dayang Sumbi memohon kepada Sanghyang Tunggal agar niat Sangkuriang tidak terlaksana. Dayang Sum bi menebarkan helai kain ''boeh rarang'' (kain putih hasil te nunannya), maka kain putih itu bercahaya bagai fajar yang merekah di ufuk timur. Para guriang makhluk ha lus anak buah Sangkuriang ketakutan karena mengira hari mulai pagi, maka merekapun lari menghilang bersembunyi di dalam ta nah. Karena gagal memenuhi syarat Dayang Sumbi, Sangkuri ang menjadi gusar dan mengamuk. Di puncak kemarahannya, bendungan yang berada di Sanghyang Tikoro di jebolnya, sumbat aliran sungai Citarum dilemparkannya ke arah timur dan menjelma menjadi Gunung Manglayang. Air Talaga Ban dung pun menjadi surut kembali. Perahu yang di kerjakan dengan bersusah payah ditendangnya ke arah utara dan ber ubah wujud menjadi Gunung Tangkuban Perahu.

Sangkuriang terus mengejar Dayang Sumbi yang lari meng-hindari kejaran anaknya yang telah kehilangan akal sehatnya itu. Dayang Sumbi hampir tertangkap oleh Sangkuriang di Gunung Putri dan ia pun memohon kepada Sang Hyang Tung gal agar menyelamatkannya, maka Dayang Sumbi pun ber ubah menjadi setangkai bunga jaksi. Adapun Sangkuriang setelah sampai di sebuah tempat yang disebut dengan Ujung berung akhirnya menghilang ke alam gaib (ngahiyang).
***
LEGENDA SANGKURIANG mengandung falsafah yang tinggi, menurut HIDAYAT SURYALAGA, pada orasi Ilmiah Hari Wisu-da Mahasiswa ITENAS, yang diberi judul Kajian Hermeneuti ka terhadap Legenda dan Mitos Gunung Tangkuban parahu dengan segala aspeknya (Bandung, 28 Mei 2005), menye butkan bahwa legenda atau sasakala Sangkuriang dimaksud kan sebagai cahaya pencerahan (SUNGGING PERBANGKARA) bagi siapa pun manusianya (tumbuhan cariang) yang masih bimbang akan keberadaan dirinya dan berkeinginan mene-mukan jatidiri ke manusiannya (WAYUNG YANG). Hasil yang diperoleh dari pencariannya ini melahirkan kata hati (nurani) sebagai kebenaran sejati (DAYANG SUMBI, RARASATI). Tetapi bila tidak disertai dengan kehati-hatian dan kesadar an penuh (teropong), maka dirinya akan dikuasai dan diga gahi oleh rasa ke bimbangan yang terus menerus (digagahi si Tumang) yang akan melahirkan ego-ego yang egoistis, yaitu jiwa yang belum tercerahkan (SANGKURIANG). Ketika Sang Nurani termakan lagi oleh kewaswasan (Dayang Sumbi me makan hati si Tumang) maka hilanglah kesadaran yang haki ki. Rasa menyesal yang dialami Sang Nurani dilampiaskan dengan dipukulnya kesombongan rasio Sang Ego (kepala Sangkuriang di pukul). Kesombongannya pula yang meme ngaruhi Sang Ego Rasio untuk menjauhi dan meninggalkan Sang Nurani. Ternyata keangkuhan Sang Ego Rasio yang ber lelah-lelah mencari ilmu (kecerdasan intelektual) selama pe ngembaraannya di dunia (menuju kearah Timur). Pada akhir nya kembali ke barat yang secara sadar maupun tidak sadar selalu dicari dan dirindukannya yaitu Sang Nurani (Pertemu an Sangkuriang dengan Dayang Sumbi).

Walau demikian ternyata penyatuan antara Sang Ego Rasio (Sangkuriang) dengan Sang Nurani yang tercerahkan (Da yang Sumbi), tidak semudah yang diperkirakan. Berbekal ilmu pengetahuan yang telah dikuasainya Sang Ego Rasio (Sangkuriang) harus mampu membuat suatu kehidupan so sial yang dilandasi kasih sayang, interdependency – silih asih asah dan silih asuh yang humanis harmonis, yaitu satu telaga kehidupan sosial (membuat Talaga Bandung) yang dihuni berbagai kumpulan manusia dengan bermacam ragam pera ngainya (Citarum). Sementara itu keutuhan jatidirinya pun harus dibentuk pula oleh Sang Ego Rasio sendiri (pembuatan perahu). Keberadaan Sang Ego Rasio itu pun tidak terlepas dari sejarah dirinya, ada pokok yang menjadi asal muasalnya (Bukit Tunggul, pohon sajaratun) sejak dari awal keberada-annya (timur, tempat awal terbit kehidupan). Sang Ego Rasio pun harus pula menunjukkan keberadaan dirinya (tutunggul, penada diri) dan pada akhirnya dia pun akan mempunyai ke turunan yang terwujud dalam masyarakat yang akan datang dan suatu waktu semuanya berakhir ditelan masa menjadi setumpuk tulang-belulang (gunung Burangrang).

Betapa mengenaskan, bila ternyata harapan untuk bersatu nya Sang Ego Rasio dengan Sang Nurani yang tercerahkan (hampir terjadi perkawinan Sangkuriang dengan Dayang Sumbi), gagal karena keburu hadir sang titik akhir, akhir ha yat dikandung badan (boeh rarang atau kain kafan). Akhir nya suratan takdir yang menimpa Sang Ego Rasio hanyalah rasa menyesal yang teramat sangat dan marah kepada diri nya. Maka ditendangnya keegoisan rasio dirinya, jadilah se onggok manusia transendental tertelungkup meratapi kema langan yang menimpa dirinya (Gunung Tangkuban parahu).

Walau demikian lantaran sang Ego Rasio masih merasa pena saran, dikejarnya terus Sang Nurani yang tercerahkan dam baan dirinya (Dayang Sumbi) dengan harapan dapat luluh bersatu antara Sang Ego Rasio dengan Sang Nurani. Tetapi ternyata Sang Nurani yang tercerahkan hanya menampakkan diri menjadi saksi atas perilaku yang pernah terjadi dan di alami Sang Ego Rasio (bunga Jaksi).

Akhir kisah yaitu ketika datangnya kesadaran berakhirnya kepongahan rasionya (Ujungberung). Dengan kesadarannya pula, dicabut dan dilemparkannya sumbat dominasi keangku han rasio (gunung Manglayang). Maka kini terbukalah salur an proses berkomunikasi yang santun dengan siapa pun (Sanghyang Tikoro atau tenggorokan; bahasa Sunda: ''Hade ku omong goreng ku omong''). Dan dengan cermat dijaga be nar makanan yang masuk ke dalam mulutnya agar selalu yang halal bersih dan bermanfaat.
***
PARADIFGMA FALSAFAH SUNDA, sebagaiamana yang di uraikan Hidayat Suryalaga diatas bukan satu-satunya tafsir falsafah. Seperti ada yang menafsirkan Sangkuriang berasal dari kecap Sang Kuring atau Ingsun – aku. Keberadaan Sang kuriang di dunia berasal dari hasil perkawinan dua unsur, yakni laki-laki dan perempuan, karena alasan jatuhnya Toto pong (topi yang dibuat dari kulit bam bu). Totopong dapat diartian sebagai pelindung (topi) dari cu aca panas maupun hujan, atau dari kondisi apapun. Jatuhnya totopong artinya menjadi tidak adanya yang melindungi kepala, atau ketia daannya yang melindungi pikiran manusia, sehingga perbuat an apa pun menjadi halal. Ada pula yang menyebutkan ‘toro pong’, alat pembesar pengli hatan, ada juga yang menyebut kan Taropong, adalah alat untuk melihat agar lebih jelas, teli ti dan fokus.

Engkus Ruswana, salah seorang tokoh aliran keparcayaan ‘Perjalanan’ menguraikan falsafah ini, melalui merinci nama-nama dan kebendaan dalam kisah Sangkuriang, seperti isti lah : TUMANG, merupakan seekor anjing hitam namun ba ngus dan buntutnya berwarna Kuning. Hal ini mengandung falsa fah, bahwa warna HITAM perlambang bumi atau lemah yang memiliki sifat teguh, abadi, sedangkan KUNING mengan dung arti, bahwa kisah seperti ini bersifat urusan duniawi, sarta keberadaannya merupakan takdir dari Tuhan. Istilah TUMANG berasal dari bahasa kawi, artinya awu – hawu, yang mengandung hawa panas, atau ditafsirkan mengandung ha wa nafsu, sedangkan DAYANG adalah sebutan untuk perem puan. Arti lainnya berasal dari kata DANGIANG (DAH-YANG), atau bangsa lelembut atawa halus. DAYANG bisa berasal dari kata DANG (= DANG DANG) dam HYANG (=SUCI=DÉWA). SUMBI yaitu tajamnya pertimbangan. Sedangkan jika dipenggal me ngandung arti WUJUD DIRI (SUM= SUMSUM = ACINING; BI = AWÉ WÉ = IBU PERTIWI = BUMI). Jadi Dayang Sumbi ngandung arti pertimbangan yang tajam, harus teliti, sabar, telaten di dalam mencari pengetahuan, perlu memahami bahwa wujud diri pada hakekatnya suci, berasal dari ACINING (SARIPATI) IBU PERTIWI/BUMI yang mengandung napsu (Dayang Sumbi kawin dengan si Tumang).

Dayang Sumbi tetep cantik dan awet jaya, menggambarkan bahwa wujud manusia sampai dengan masa kini tetap cantik, tidak ada yang berubah strukturnya, manusia tidak dapat merubah wujudnya, sekalipun sudah tua dimakan usia, lajim nya tidak ada manusia yang menginginkan meninggalkan ja sadnya, malahan tetap dicintai dan disayangi, oleh Kuring nya. Dalam falsafah atau kepercayaan Sunda menandakan Sang Kuring atau Ingsung bukan sifat ragawi/lahir, juga bu kan rohani/batin, tapi dilahirkan bersama dalam batinnya. Ingsun (kuring) merupakan dzat suci yang berasal dari Tu han yang Maha Suci yang tetap ada selama manusia menyatu dengan kuringnya.

Lahirnya Ingsun keduania melewati musabab ibu dengan bapak. Dalam hal ini Dayang Sumbi adalah ibu dan si Tumang adalah Bapak. Di dunya, Ingsun yang berada didalam jasad yang berasal dari saripati dunia (dayang Sumbi). Oleh ka renanya hawa nafsu akan selalu menyertai Sangkuriang (Si Tumang selalu mengikuti kemanapun). Jika tidak memiliki hawa nafsu yang menyertai jasad (raga), dipastikan tidak akan ada kehidupan didunia dan tidak akan ada Ingsun lahir kedunia. Sebab ketika si Tumang di bunuh maka Dayang Sum bi sangat marah, berarti, jika hawa nafsu dibunuh tentunya kepentingan jasad (raga) akan terlantar, akibatnya akan hi lang kehidupan manusia didunia. Mungkin bisa dibayangkan jika manusia tidak memiliki keinginan untuk makan, minum, bekerja, birahi, dan nafsu lainnya), oleh karenya didalam il mu Ki Sunda tidak mengenal ajaran membunuh nafsu, hanya memang harus dikendalikan, dan manusa sunda tidak diper bolehkan mengasingkan diri meninggalkan urusan dunia. Sa ma artinya dengan melepaskan diri dari tanggung jawab sosial dan kehidupan.

Hidup Ingsun didunia harus memiliki ilmu, hasil belajar dan olah pikir yang kreatif. Dalam legenda ini disimbolkan kepala Sangkuriang dipukul kepalanya hingga terluka. Sang Kuriang memaksa untuk menikahi Dayang Sumbi ngandung arti, bah wa Ingsun berasal dari Tuhan hakekatnya suci, tentunya me miliki rasa dan tanggung jawab untuk menyelamatkan diri (raga) asal dari dunia yang ditempatinya agar selamat, kukuh dan tidak mengingkari jalan kemanusiaan, melalui jalan me manunggalkan kuring (ingsun) dengan kurungnya (raganya) dalam satu perahu yang sehaluan sepanjang waktu mengem bara dunya (parahu untuk berlayar di telaga). Didalam mewu judkan niatnya, Sang Kuriang dibantu Guriang Tujuh (= Guru hyang tujuh), maksudnya tujuh penguasa suci yang ada dida lam diri manusia, yakni : kekuasaan/gerak-langkah, kehen dak/kemauan hidup, pendengar, pengucap, pencium, yang menjadi guru sejati manusia untuk mengetahui, merasakan, menyaksikan keadaan dunia dan isinya, bukan katanya atau berita, tapi dapat dirasakan diri sendiri secara totalitas.
***
LEGENDA SANGKURIANG mengandung kisah tentang peristi wa Geologi yang terkait dengan pengetahuan tentang asal muasal wilayah Bandung. Selain itu saat ini sudah berkem bang mengenai penelitian Cekungan Bandung. Dapat dipasti kan bahwa Sangkuriang yang dikisahkan dalam legenda ada lah penduduk Bandung Purba.

Bandung yang dimaksud adalah wilayah yang sekarang men jadi wilayah administratif Kabupaten Bandung dan sekitar nya, termasuk Kabupaten Bandung. Sebagian besar wilayah itu merupakan bekas danau raksasa yang kemudian disebut DANAU BANDUNG PURBA. Berdasarkan hasil penelitian ar keologi dan geologi, wilayah ini mulai dihuni oleh manusia, paling tidak sejak zaman neolitikum. Hal itu ditunjukkan oleh penemuan artefak kapak persegi (kapak batu obsidian) di da taran tinggi Bandung, ter utama dikawasan Bandung utara (Dago Pakar), kawasan Bandung selatan, khususnya Soreang. Diduga daerah sebaran kapak itu merupakan pemukiman manusia zaman prasejarah (neolitikum).

Disekitar danau Purba (Bandung), pada sekitar 6.000 tahun yang lalu telah ada masyarakat yang menetap seperti manu sia sekarang. Penelitian tersebut dilakukan oleh GHR von Koenigs wald, AC de Jong, dan W. Rothpletc pada tahun 1945 dan menemukan benda budaya prasejarah dalam jumlah ba nyak, berupa alat-alat neolitik, seperti alat mikrolit, batu ob sidan, alat serut, alat serpih dan lainnya. Benda-benda terse but ditemukan di dua puluh tiga lokasi. Diperkirakan pada masa tersebut berada di tepian danau purba, seperti Dago Pakar, Ujungberung, Majalaya, Cililin, Soreang, bahkan menu rut Arkeologi Nasional (1978), situs Dago Pakar berfungsi sebagai bengkel alat-alat neolitik.

Teori lainnya menyebutkan lebih awal lagi, yakni jaman PA LEOLITIKUM, masyarakat yang hidup di daerah ini tergantung kepada alam. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mereka memanfaatkan segala sesuatu yang tersedia dialam. Mereka hidup sebagai pengumpul makanan (good gathering). Seperti berburu binatang, memetik daun, bunga, buah, serta men cungkil umbi-umbian. Memang fosil atau kerangka manusia yang berasal dari jaman neolitik belum ditemukan di Indone sia, akan tetapi mendasarkan pada perbandingan dengan ma nusia pendukung kebudayaan bercocok tanam di Muangthai, Vietnam, Malaysia, dapat diperkirakan manusia yang hidup di tatar Sunda adalah ras Mongoloid. Ras ini bersama ras Aus tralomelanesid berada di Indonesia sejak awal masa Holosen, 10.000 tahun lalu, memiliki ciri fisik sesuai dengan penduduk Indonesia dewasa ini. (Ekadjati : 2005).

Teori tentang manusia purba dengan peradabannya yang tinggi bisa ditemukan di GUA PAWON atau KARTS PAWON Ban dung. Dari perkakas dan bahan bakunya sangat beragam, mu lai dari batuan obsidian yang hanya bisa ditemukan di Na-grek, Garut atau Sukabumi. Jika ditelaah lebih seksama dari ketinggian, wilayah Gua Pawon dan Nagrek (Cicalengka) di mungkin dahulunya sebagai daerah yang berada ditepian Da nau Purba Bandung. Memang wilayah yang disebutkan terse but terletak lebih tinggi dari cekungan Bandung.

KAWASAN KARST PAWON secara administratif termasuk di wilayah Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung. Dalam du nia arkeologi, kawasan karst pawon menjadi perhatian sejak ditemukannya jejak-jejak kehidupan manusia di Gua Pawon. Selama ini perhatian terhadap kawasan karst pawon baru sebatas pada temuan rangka manusia di Gua Pawon. Dengan ditemukannya bukti kehadiran manusia tersebut memuncul kan pertanyaan sejauh mana kawasan jelajah Manusia Pa won dalam memenuhi kehidupannya. Berdasarkan pengama tan terhadap kawasan karst pawon diketahui bahwa di ka wasan itu terdapat beberapa tinggalan arkeologis yang me rupakan jejak-jejak kehidupan manusia beserta budayanya yang berlangsung pada masa lampau. Tinggalan arkeologis tersebut berasal dari berbagai masa sejak zaman prasejarah hingga sekitar abad ke-17.

Penelitian arkeologis yang dilakukan Balai Arkeologi Ban dung yang kemudian juga melakukan kerjasama dengan Ba lai Pengelolaan Kepurbakalaan, Kesejarahan dan Nilai Tradi sional, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat telah berhasil mengungkap keberadaan Manusia Pawon. Ekskavasi yang pernah dilakukan mendapatkan gambaran bahwa Gua Pawon di masa lalu pernah digunakan sebagai tempat hunian dan penguburan.

Bentuk hunian yang pernah berlangsung merupakan hunian tertutup yang memanfaatkan gua sebagai tempat bermukim. Berdasarkan bentuk tengkorak yang ditemukan, dapat dike tahui bahwa Manusia Pawon berasal dari kelompok ras mo ngoloid. Berdasarkan hasil analisis C-14 menunjukkan umur Manusia Pawon antara 5.660 ±170 BP sampai 9.520 ±200 BP.

Di sekitar Gua Pawon, jejak-jejak kehidupan manusia ditemu kan di puncak Pasir Pawon dan di lembah sekitar aliran Ci bukur. Di puncak Pasir Pawon, di mana terdapat stone gar den dapat dijumpai sebaran artefak berupa fragmen tembi kar dan keramik. Selain itu juga terdapat beberapa batuan beku yang kemungkinan merupakan sisa unsur bangunan.

Fragmen tembikar yang ditemukan ada yang menunjukkan pada tingkat teknologi sederhana ada pula yang sudah agak maju. Tembikar dengan teknologi sederhana merupakan ciri teknologi masa prasejarah. Fragmen tembikar yang menun jukkan berasal dari tingkat teknologi lebih maju mempunyai ciri yang sama dengan tembikar Buni yang berkembang di daerah pantai Karawang hingga Pamanukan. Diperkirakan tembikar Buni berkembang sejak abad ke-2 SM hingga pada masa Kerajaan Sunda dan awal Islam (Abad ke-17).

Fragmen keramik yang ditemukan berasal dari Cina. Keramik tertua dari zaman dinasti T’ang (abad VII – X). Secara tipo logis, keramik ini berasal dari bentuk guci. Keramik yang le bih muda lagi dari zaman dinasti Song (abad X – XIII). Bergla sir warna hijau seladon, berasal dari bentuk mangkuk. Kera mik dari zaman dinasti Yuan (abad XIII – XIV) juga ditemukan di puncak Pasir Pawon. Keramik ini pada bagian dalam berglasir warna abu-abu. Secara tipologis berasal dari ben tuk mangkuk tanpa kaki.

Beberapa batuan beku yang ditemukan di puncak Pasir Pa won, sekarang dalam kondisi tersebar. Salah satu batu ber bentuk bulat panjang. Berdasarkan bentuknya mungkin me rupakan bekas struktur bangunan berundak yang lazim ber kembang pada masyarakat pendukung tradisi megalitik.

Di sebelah utara Gunung Masigit berjarak sekitar 40 m ter dapat aliran sungai Cibukur. Di sungai tersebut telah ditemu kan alat batu berupa kapak perimbas monofacial dari bahan batu gamping. Alat batu semacam ini termasuk dalam kate gori paleolitik yang digunakan oleh manusia prasejarah.

Selain tinggalan arkeologis, pada masyarakat di sekitar kawa san karst pawon terdapat tradisi yang menempatkan Pasir Pawon sebagai wilayah yang sakral. Pasir Pawon dipercaya sebagai lokasi petilasan para karuhun. Beberapa nama yang diketahui adalah Rama Agung, Embah Kalapa, Eyang Haji Putih Jagareksa, Krincing Wesi, Centring Manik, Manik Maya, Embah Purbakawasa, Embah Gatot Jalasutra, dan Embah Basar. Cag heula (***)

Minggu, 17 Juni 2012

Jangjawokan

Orang Sunda Tradisional penganut ageman Sunda Wiwitan, atau Jati Sunda mengenali istilah jangjawokan yang biasa digunakan ketika menyepah (nyeupah), diucapkan dengan lirih seakan berbisik atau ada juga yang mengucapkan dalam hati. Jangjawokan digunakan pula pada setiap laku lampah, bahkan menjadi tertib hidup dalam melakukan kegiatan seha ri-hari, seperti pada saat bergaul, bekerja, dan berdoa. Laku demikian sangat lumrah bagi urang Sunda Tradisional yang tergolong kedalam masyarakat agraris, sedangkan ciri dari masyarakat agraris selalu menjaga harmonisasi dengan alam dan lingkungannya. Konon pula seluruh nu kumelendang di alam dunya dianggap memiliki jiwa, maka jika mipit kudu amit, ngala kudu bebeja (memetik dan mengambil harus me minta ijin).

Para Sastrawan Sunda seperti Wahyu Wibisana, Rus Rusyana dan Ajip Rosidi menggolongkan Jangjawokan kedalam kelom pok bentuk PUISI SUNDA. Yus Rusyana menuangkannya keda lam buku Bagbagan Puisi Mantra Sunda (1970). Tentunya apapun penilaian dan pemahaman masing-masing para sas trawan, namun dengan cara ini dapat membantu menga-barkan, bahwa Urang Sunda pernah memiliki suatu produk budaya yang disebut JANGJAWOKAN. Strategi penyampaian demikian sama halnya ketika menyelipkan adat dan tradisi Sunda ke dalam paradigma baru, dalam istilah jawa disebut ‘NGRANGKEPI’, sehingga adat dan tradisi Sunda masih terka barkan sampai dengan saat ini.

Didalam kancah sastra mungkin ada baiknya meminjam isti lah dari para sastrawan. Menurut Wahyu Wibisana : jangja wokan sejalan dengan maksud puisi magis yang dikemuka kan Yus Rusyana, mungkin senada dengan pendapat Rach mat Subagya didalam buku tentang “Agama Asli Indonesia”. Dengan mantra orang berangsur-angsur memulangkan kua- sa kuasa imajiner yang di anggap melanggar atas wewe-nangnya yang imajiner kepada tempat asal wajar mereka yang imajiner juga. Pengertian imajiner berpusat pada pemi kiran yang berhubungan dengan makhluk gaib yang mempu nyai kekuasaan, kewenangan serta berada di tempat terten tu. Maka dengan cara tertentu, seperti membacakan mantra dan ritual, kekuasaan dan kewenangan makhluk gaib itu dapat dimanfaatkan untuk tujuan yang dikehendaki.

Jangjawokan sebagai krama hidup urang sunda di temukan pula didalam kegiatan lainnya, seperti pada cara pengelolaan padi. Jangjawokannya digunakan sejak menebar benih (ne bar); menanam padi (tandur), ngaseuk (ngolah tanah), pa-nen nyiuk beas, nyangu (menanak nasi), membawa beras da ri tempat mencucinya, dan ngisikan (mencuci beras). Contoh jangjawokan yang digunakan dalam mengelola beras, seperti menyimpan beras dan mencuci beras : Mangga Nyi Pohaci - Nyimas Alame - Nyimas Mulang - Geura ngalih ka gedong manik ratna inten - Abdi ngiringan. Ashadu sahadat panata, panetep gama - Iku kang jumeneng lohelapi - Kang ana teleking ati - Kang ana lojering Allah - Kang ana madep maring Allah - Iku wuju salamaet ing dunya - Salamet ing akherat. Asaha duanla ila haileloh - Wa ashadu anna Muhammad darrasolullah. ...... Abdi seja babakti kanu sakti, agung tapa - Nyanggakeun sangu putih sapulukan - Kukus kuning purba herang - Tuduh kang seseda tuhu - Datang ka sang seda herang - Tepi ka kang seda sakti - Nu sakti neda kasakten - Neda deugdeugan tanjeuran.

Contoh lainnya dalam Jampe ngisinikan (mencuci beras untuk ditanak) : Mangga Nyimas Alene - Nyimas Maulene - Geura siram dibanyu mu’min - Di Talaga Kalkaosar - Abdi ngiringan Nyi Pohaci Budu gul Wulung - Ulang jail babawaan kaula - Heug. Nyi Pohaci Barengan Jati - Ka Nyi Pohaci Sukma Jati – heug.

ISTILAH JANGJAWOKAN
Wahyu Wibisana dalam buku Sastra Lagu : Mencari Hubung an Larik dan Lirik menjelaskan, bahwa: “Dua buah bentuk puisi sunda yang dapat dikatakan bersifat arkais ialah aji mantra dan bentuk puisi pada cerita pantun (Rajah dan Nata an). Istilah ajimantra diambil dari naskah kuno Sanghiyang Siksa Kanda Ng Karesiyan. Sedangkan puisi pada pantun te lah ada sebelum tahun 1518, sama artinya dengan istilah mantra sekarang. Puisi didalam cerita pantun nampak dari ra jah dan nataan”.

Misalnya Rajah dalam Kisah Pantun Gantang an Wangi :Pun sapun - Sang kuyupu ngaraning parukuyan - Sang rupay puting ngaraning seuneu - Sang lingsir putih ngaraning menyan - Kukus nyambuang - Pangandika gusti rosul - Mangka terus ka nu alus - Ka purba ka nu kawasa - Ka nu dihin - Ka nu pasti - Kukus nyambuang - Nuja katatar pasagi handap - Ngungkab bumi tujuh lapis - Cundukna ka ratu bungsu - Ka pangeran rangga sinuhun - Ka batara naga raja - Kanu aya di sakuriling cai.

Jangjawokan arti kata lain dari ajimantra. Istilah ajimantra di gunakan dalam Naskah Siksa Kandan Karesiyan, ditulis pada tahun 1518 M. Tapi penggunaan istilah Jangjawokan tidak diketahui sejak kapan, karena Urang Sunda Tradisional lebih banyak menggunakan istilah Jangjawokan dan ajian maka istilah ajimantra agak kurang dikenal.

Penggunaan istilah ajimantra (sanksekerta) untuk jangjawo kan dimungkin sebagai adaptasi bahasa yang menggunakan persamaan kata (eufimisme). Istilah Aji didalam kamus baha sa Indonesia disebutkan yang menyebabkan seseorang men jadi sakti, sedangkan kata mantra ditafsirkan sebagai per kataan yang mendatangkan kekuatan gaib; atau susunan ka ta berunsur puisi (seperti rima, irama) yang dianggap me ngandung kekuatan gaib. Ajip Rosidi lebih menekankan pada istilah Jangjawokan dibandingkan menggunakan kalimat aji mantra. Dengan alasan : Istilah ajimantra berasal dari India dan dalam bahasa Sunda tidak pernah digunakan. Menurut Ajip Rosidi, dilihat dari segi isinya, Jangjawokan dilaksana kan oleh nu gaib, dalam arti makhluk gaib.

ADAPTASI BAHASA ATAU KEYAKINAN
Pemahaman orang Sunda tradisional tentang konsep Nu Gaib dapat ditelusuri melalui perkembangan sejarah keyakinan. Nama-nama Nugaib dimaksud dapat ditelusuri dalam naskah Kosmologi Sunda (Kropak 420) dan Jatiraga. Nama-nama Nu Gaib bukan hanya istilah-istilah Dewata, seperti Brahma, Wisnu, Siwa dan Mahadewa, namun ditemukan pula nama-nama Nu Gaib yang asli penemuan Ki Sunda, seperti Pohaci, Sunan Ambu dan Wirumananggay.

Menurut Ekadjati (2005 : 176), pada awalnya masyarakat di tanah Sunda sudah mengenal yang gaib sebagai jiwa atau arwah leluhur, yang dapat memancarkan kekuatan gaib. Untuk mencegah pancaran kekuatan gaib yang bersifat bu ruk maka dilakukan ritual-ritual penghormatan, atau ritual-ritual khusus yang dipersembahkan untuk leluhurnya. Rituali tasnya sangat tergantung kepada masing-masing yang indivi du, bahkan sampai sulit untuk mengetahui tatacaranya. Pada periode selanjutnya di Pasundan bersentuhan pula dengan budaya dari India, yang membawa agama Hindu dan Buda. Didalam naskah Wangsakerta dan buku Rintisan Penelusur an Masa Silam Sejarah Jawa Barat (1983-1984) disebutkan bahwa agama Hindu dan Buda berkembang di keraton Tatar Sunda, sedang masyarakat atau rakyat pada umumnya biasa masih tetap yang menganut ageman dari nenek moyangnya.

Didalam keyakinannya agama Hindu dan Buda mengenal pu la adanya istilah yang Gaib lainnya, yakni Dewa yang bukan berasal dari rokh (arwah) nenek moyang. Dewa-dewa terse but mempunyai cara hidup dan tempat tersendiri diluar kehi dupan manusia, yakni nirwana atau sorga. Dewa-dewa dalam agama Hindu jumlahnya memiliki fungsi dan tugas ma sing-masing. Dari sorga dewa-dewa tersebut mengatur dan meng awasi kehidupan manusia. Pada masa kerajaan Sunda dan Galuh para pemuka agama (pendeta, resi, wiku) melakukan pencarian dengan menggunakan referensi dari keyakinan me nurut ajaran leluhurnya serta dari Hindu dan Budha, di sam ping pengamatan, pengalaman dan pengetahuan mereka sen diri.

Pada masa selanjutnya ditemukan konsep Tuhan yang dina makan Hiyang. Istilah Hiyang disebut juga Sanghiyang, memi liki makna yang sama, yaitu Yang Gaib. Konsep Hiyang, Sang hiyang, Sang Hiyang, berpangkal dari makna dan proses ter bentuknya rokh dalam kepercayaan leluhur, namun bukan berasal dari jiwa manusia sebagaimana arwah atau roh. Hi yang terbentuk dengan sendirinya, keberadaannya gaib dan Tunggal, tidak jamak dan menguasai seluruh alam. Sifat Hi yang tercermin dari nama-nama yang diberikan kepadanya, yaitu Batara Seda Niskala (Yang Gaib), Batara Tunggal (Yang Esa), Batara Jagat (Yang Menguasai Alam), Sang Hiyang Kere sa (Yang Kuasa), Nu Ngersakeun (Yang Berkehendak), dan Batara Guru (Yang Maha Tahu), bahkan Batara didalam isti lah seperti Batara Tunggal dianggap adaptasi bahasa dari ba hasa Hiyang Tunggal.

Penemuan konsep Hiyang tidak serta merta menghilangkan fungsi dari dewa-dewa lainnya, namun tetap ada dan di tem patkan di bawah Hiyang. Tempat Hiyang berada di Parahya ngan atau di luar dunia. Parahyangan memiliki ruang yang digambarkan yang bertingkat tingkat. Tingkat paling bawah dihuni oleh para Dewa (Brahma, Wisnu, Siwa, Isora, Mahade wa). Diatasnya ditempati Dewa dalam konsep Sunda, seperti Sari Dewata dan Ni Dang Larang Nawati. Diatasnya lagi dihu ni oleh Dewi Sri (Pwa Sang-hiyang Sri), Dewi Bumi (Pwa Naga Nagini), Dewa Bulan (Pwa Naga Nagini). Ditempat yang paling atas sekali, bersemayam Sang Hiyang Keresa, tempat yang lepas dari semua ikatan, dan hidup dalam keabadian, atau Jatiniskala.

Dari kesejarahan tersebut memang nampak adanya Nu Gaib dengan Yang Maha Gaib. Istilah Nu Gaib dimungkin disebut kan untuk dewa-dewa dalam dalam konsep Sunda, seperti Sari Dewata dan Ni Dang Larang Nawati; Dewi Sri (Pwa Sang hiyang Sri); Dewi Bumi (Pwa Naga Nagini); Dewa Bulan (Pwa Naga Nagini), disamping dewa-dewa yang mengadopsi dari agama Hindu, seperti Brahma; Wisnu; Siwa; Isora; dan Maha dewa. Sedangkan Yang Maha Gaib disebutkan kepada Sang Hiyang Keresa atau Sang Hiyang Tunggal.

Disisi lain, pemahaman istilah nu gaib tidak selamanya berko notasi makhluk gaib yang berasal dari seperti arwah leluhur. Akan tetapi ada juga semacam cara membangkitkan spiritu litas dalam diri manusa, seperti paradigma tentang raga; bathin dan kuring.

Negasi terhadap paradigma diatas dapat dicontohkan dari salah satu Jangjawokan sebagai berikut: Ka Indung nu ngandung - Ka Rama nu ngayuga - Ka Indung nu teu ngandung - Ka Rama nu ngayuga - Kadulur opat kalima pancer - Pangnepikeun ieu hate - Ka Indungna anu nagnadung - Ka Ramana anu ngayuga - Ka Indungna nu teu ngandung - Ka Ramana nu ngayuga - Kadulur opat kalima pancer - Kalawan kanu ngurus jeung - ngaluis si …. (anu) …… dst dst.

Dari Jangjawokan diatas tidak nampak adanya eksistensi nu gaib dari luar dirinya. Kecuali jika kalimatul indung nu ngan dung dan nu teu ngandung; bapak nu ngayuga kalawan nu teu ngayuga; dulur opat kalima pancer dianggap makhluk gaib ?. Padahal istilah ini di yakini terkait dengan sejarah diri. Sejarah dimana saat ini dia ada kumelendag (berada) di alam dunia.

PENGGUNAAN JANGJAWOKAN
Pada kasus lain penggunaan Jangjawokan bisa jadi bertujuan untuk memperkuat bathin yang membacakannya, atau sema cam ada perintah ingsun kepada bathinnya untuk berkomuni kasi dengan ingsun orang lain. Jika saja yang dimaksud dalam kandungan jangjawokan sama dengan yang dimaksud dalam Pantun Sunda, mengingat keduanya juga dikatagorikan se bagai puisi arkais, hemat saya dapat pula diperbandingkan dengan referensi dari Buku Jakob Sumardjo tentang ‘Khasa nah Pantun Sunda’, terutama tentang ‘arkeologi pemikiran’ Urang Sunda Buhun. Salah satunya Trias Politik Sunda. Tan pa pemahaman yang jelas niscaya Ki Sunda akan kehilangan sejarah pemikirannya yang hakiki.

Signal dari paradigma dan muara permohonan bisa pula dika itkan dengan strata atau hirarkhi pengabdian. Misalnya Wa do tunduk kepada Mantri; Mantri tunduk kepada nangga nan; nangganan tunduk kepada mangkubumi; mangkubumi, tunduk kepada ratu; ratu tunduk kepada dewata; dewata tun duk kepada Hyang. Dengan demikian posisi Hyang berada di posisi tertinggi.

Dalam perkembangan selanjutnya ditemukan ada sebutan Allah kepada yang dimohonkan. Urang sunda biasanya mem baca dengan Alloh. Konsonan “O” nya sangat kental – khas. Menurut beberapa sumber ada jangjawokan dari Urang Ba duy yang menggunakan istilah yang digunakan para pemeluk agama islam, seperti didalam Sawer Panganten dan Sadat Islam. Padahal Urang Baduy memeluk agama Sunda Wiwitan, atau Jati Sunda.

Adapun contoh dari Sawer Panganten Baduy dan sadat Islam, sebagai berikut: Bismillahirohmanirohim-Panggpunten kasadaya-Kau nu tua ka nu anom -Sumawon kanu sepuh mah,-Kaula bade nyembahkeun,-Nyipanganten sareng ki panganten. - Sadat Islam - Sadat Islam aya dua - Ngislamkeun badan kalawan nyawa Dat hirup tangkal iman - Ngimankeun badan sakujur,-Hudang subuh banyu wulu,-Parentah Kangjeng Gusti,-Nabi Adam pangyampurnakeun badan awaking-Sir suci- Sir adam/Sir Muhammad-Muhammad Jaka lalana,-Nu aya di saluhuring alam.

Istilah dalam jangjawokan yang banyak disebut-sebut urang sunda Buhun, seperti Allah, Adam dan Muhammad ten tunya tidak bisa dilepaskan dari paradigma tentang Dzat, Sifat dan Manusia itu sendiri. Mungkin pengaruh dari agama Islam seperti dalam tarekat ‘Nahdlatul Arifin’, yang mengajarkan, bahwa: jika manusia ingin mengenal Allah yang sebenar benarnya, maka seseorang harus mengetahui rahasia ‘alif- lam-mim’, yaitu Allah–Muhammad–Adam. Mungkin juga me nandakan adanya unsur kesatuan yang hakiki antara raga, bathin dan kuringna manusa.

Contoh lain dapat ditemukan didalam kebiasaan sebelum be lajar atau memecahkan persoalan, bertujuan agar dicerahkan pikiran, seperti : Allahuma hujud bungbang-Nu hurung dina jajantung-Nu ruhay dina kalilipa-Remet meteng dina angen-bray padang ….. Alllah....... Pangmukakeun kareremet nu aya didiri kula-Bray padang,-Brya caang,-Caang na salalawas na-Lawasna Saumur kula.

Setelah waktu yang cukup lama kemudian dicoba menelusuri dari mana asal jangjawokan itu, dan bagaimana pula bahasa aslinya. Pada akhirnya menemukan dari salah satu sumber, konon dahulunya berisi, demikian : Hujud bungbang-Nu hurung dina jajantung-Nu ruhay dina kalilipa-Remet meteng dina angen-Bray padang-Pangmukakeun kareremet nu aya didiri kula-Bray padang,-Bray caang,-Caangna salalawasna-Lawasna Saumur kula.

Abdul Rojak menyebutkan, Orang Kanekes Baduy Dalam (Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo) juga mengenal istilah Sa hadat, yang disebut Sahadat Sunda, sebagai berikut :Asyhadu syahadat Sunda, zama alloh ngan sorangan. Kaduana Gusti Rasul, katilu Nabi Muhammad, Kaopat umat Muhammad. Nu cicing di bumi angari cing. Nu Calik dina alam keueung. Ngacacang di alam mokaha. Salamet umat Muhammad. (Asyhadu Syahadat Sunda, Zaman allah hanya satu. Kedua para Rasul. Ketiga Nabi Muhammad. Keempat umat Muham mad. Yang tinggal di Bumi yang ramai. Yang duduk di alam takut. Menjelajah alam nafsu. Selamat umat Muhammad).

Perbedaan antara Sahadat di dalam agama Islam dengan Sahadat Buhun diakui pula oleh masyarakat Baduy, Seperti keterangan Ayah Mursid, tokoh masyarakat Cibeo : Sahadat menurut ajaran Sunda Wiwitan diartikan sebagai rangkaian kalimat berisi do’a do’a atau jampe-jampe yang disampaikan kepada Sang Pencipta Alam sesuai dengan kebu tuhan, kegiatan atau masalah yang dihadapi, dan diucapkan tidak sembarangan ada kramanya” (Saatnya Baduy Bicara, Hal. 90, Asep Kurnia dkk – 2010).

Jika dikaji lebih jauh, mungkin akan ditemukan adanya trans formasi ageman, yang semula menggunakan simbol-simbol dan bahasa agama Sunda Wiwitan, atau menggunakan ba hasa yang digunakan di dalam agama Islam, namun tidak merubah substansi dari tujuannya. Jika saja asal Jangjawo kan yang kedua diatas diyakini bersumber dari jangjawokan yang pertama dan tidak di temukan kalimat Allah, namun da lam bentuk Jangjawokan dibawah pun tidak unsur yang me mintakan kepada makhluk gaib dalam arti diluar (kekuatan) dirinya. Mungkin pencantuman kalimat Tauhid didalam jang jawokan dikembangkan oleh urang sunda berikutnya, bertu juan memintakan legitimasi dan ijin dari yang Maha Gaib, yak ni Tuhan.

Hal ini menunjukan adanya adaptasi dan penguat an permohonan kepada Tuhan. Ada benarnya jika urang tua mengemukakan, bahwa : antara Gusti jeung makhlukna euweuh watesna, leuwih deu keut jeung naon wae, malah masih jauh antara hate jeung urat beuheungna. (antara Allah dan makhluknya tidak ada batasnya, lebih dekat dari apa saja, malahan masih jauh jarak antara hati manusia dengan urat le-her).

CIRI-CIRI JANGJAWOKAN
Jangjawokan didalam koridor sastra puisi arkais didefinisi kan sebagai: permintaan atau perintah agar keinginan (orang yang menggunakan jangjawokan) dilaksanakan oleh nu gaib dalam pengertian makhluk gaib. Sebatas ini mudah dipahami, yakni para pengguna jangjawokan menggunakan makh luk gaib untuk mencapai keinginannya. Namun tidak dapat dipungkiri jika ditemukan pula jangjawokan yang menggunakan bacaan sebagaimana lajimnya digunakan oleh urang sunda yang beragama islam (lihat Sadat Buhun), yang di katagorikan sebagai do’a. Hanya saja menjadi membuahkan pertanyaan, apakah jangjawokan itu bukan do’a ?.

Pemilahan jangjawokan dengan do’a dimungkinkan terjadi jika jangjawokan dikatagorikan sebagai bagian dari puisi sun da (arkais), serta dibahas dengan menggunakan Indikator dalam kacamata sastra. Namun boleh saja jika jangjawokan dilihat dari kacamata lainnya. Karena ketika masyarakat Sunda Tradisional mengucapkan jangjawokan tentunya tidak ber tujuan membaca puisi, melainkan memohonkan sesuatu.

Jangjawokan diyakini memiliki kekuatan magis. Kemung kinan kekuatan dari kandungan magis yang dirasakannya man menyebabkan jangjawokan ditularkan secara turun te murun. Jangjawokan tidak mungkin bisa bertahan dan terka barkan hingga sekarang jika tidak dirasakan manfaatnya dan diyakini kekuatannya. Yang jelas ada harmoni manusia deng an alamnya ketika jangjawokan itu dibacakan.

Peran jangjawokan bisa diasumsikan keberadaanya sebelum kemudian diserahkan kepada para penyembuh modern, se perti dokter; psikolog; atau profesi apapun yang terkait deng an masalah penyembuhan fisik dan psikis. Jangjawokan di gunakan pula dalam keseharian, sebagai bagian dari tertib hidup, seperti pada kegiatan sebelum buang air dan kegiatan lainnya. Jangjawokan dalam jenis ini bisa ditemukan dalam Jampe Kahampangan (Jampi hendak buang air kecil); Jampe Kabeuratan (hendak buang air besar); Jampe Neda (Jampi sebelum makan); Jampe Masamon (Jampi bertamu). Konon kabar, kekuatan dari magisnya terletak pada kebersihan hati sipelafalnya dan kesungguhan bagi para penggunanya. Namun saya tidak bisa terlalu jauh masuk untuk mengetahui pengaruhnya, biarlah merupakan bagian dari para akhlinya.

Didalam paradigma sastra mengkatagorikan ajimantra (Jang jawokan) yang merupakan sastra arkais yang pernah muncul kemudian setelah sastra sunda kuno. Sama halnya dengan yang dimuat dalam kamus bahasa Indonesia, yakni susunan kata berunsur puisi (seperti rima, irama) yang diang gap mengandung kekuatan gaib. Dikatakan ’pernah digunakan’ dan ’pernah muncul’, karena memang saat ini kebanyakan orang sunda sudah banyak yang tidak menggunakannya, selain sudah jarang diketahui, juga dimungkinkan karena tidak dikenal didalam ageman barunya. Hanya saja, sebagai karya sastra (yang umumnya berbentuk lisan) tetap merupa kan genre tersendiri dalam sastra Sunda seperti juga pada sastra daerah lainnya di Nusantara.

Dari pernyataan diatas, saya yakin masih ada masyarakat Sunda yang menggunakan jangjawokan. Kitapun lantas tidak bisa menafsirkan masyarakat pengguna jangjawokan sebagai masyarakat ketinggalan jaman, karena realitasnya masih nya man digunakan. Dengan dimasukannya ajimantra sebagai ba gian dari puisi maka masih bisa ditelusuri dan terkabarkan beritanya kepada generasi berikutnya. Setidak-tidaknya kata gorisasi ini dapat menyelamatkan jangjawokan sebagai asset budaya bangsa, sekalipun hanya dinikmati sebagai karya seni, tidak pada unsur magisnya.

Jangjawokan menurut Wahyu Wibisana memiliki ciri-ciri khu sus. Ciri-ciri yang dimaksudkan Wahyu tentunya dilihat dari kata gori Jangjawokan sebagai bagian dari puisi arkais sun da. Jadi wajar jika ada tekanan tujuan dari materi jangjawo kan; gaya sastra dan gaya bahasa; rima-rima; dan kelahiran nya dalam pemahaman tentang sastra sunda.

Adapun ciri-ciri Jangjawokan, sebagai berikut :
1. menyebutkan nama kuasa imajiner, seperti : Pohaci Sang hiyang Asri, Batara, Batari dll.
2. dalam kalimat atau frase yang menyatakan si pengucap jangjawokan berada pada posisi yang lebih kuat, otoma tis berhadapan dengan pihak yang lemah.
3. berhubungan dengan konsvensi puisi, merupakan kelanju tan dari gaya Sastra Sunda Buhun dan cerita Pantun, yak ni adanya desakan atau perintah, disamping himbauan, tegasnya bersifat imperative dan persuasif.
4. masih berhubungan dengan konvensi puisi, adanya rima-rima dalam jangjawokan. Rima-rima dimaksud memiliki fungsi estetis ; membangun irama ; fungsi magis; fungsi membuat ingatan orang yang mengucapkan.
5. adanya lintas kode bahasa pada ajimantra yang hidup di Priangan dan Baduy. Bahasa jangjawokan tersebut dise rap seutuhnya atau disesuaikan dengan lidah pengucap nya.
6. terkesan sebagai sastra arkais yang pernah muncul ke mudian setelah sastra sunda.

PENYEBUTAN KUASA IMAJINER
Pengertian imajiner berpusat pada pemikiran yang berhubu ngan dengan makhluk gaib yang dianggap mempunyai ke kuasaan dan kewenangan dan berada di tempat tertentu. Pada tataran keyakinan dan kepercayaan bahwa dengan cara tertentu, kekuasaan dan kewenangan makhluk gaib itu dapat dimanfaatkan manusia untuk tujuan-tujuan yang dikehenda ki, sebagaimana dalam Jangjawokan. Nama-nama kuasa ima jiner, seperti Nu Gaib dan Nu Maha Gaib, sebagaimana diurai kan diatas, tentunya ada juga yang menggunakan istilah-isti lah lainnya, seperti Pohaci Sanghyang Asri; Batara dan Bata ri; Sri Tunggal Sampurna; Malaikat Incer Putih; Raden Angga Keling ; Sang Ratu Babut Buana.

Contoh-contoh penyebutan kuasa imajiner tersebut, seperti didalam Jampe Masamoan : Nu ngariung jiga lutung-Nu ngarendeng jiga monyet-Nya aing mandahna !-Maung pundung datang turu-Badak galak datang depa-Galudra di tengah imah Kakeureut-kasieup ku pohaci awaking.

Jampe masamoan (berkunjung) diatas bertujuan agar memi liki kekuatan yang tersinari pohaci yang ada didalam dirinya. Bahkan ada semacam perintah bathin kepada bathin siapa pun yang ada ditempat pasamoan tersebut untuk tunduk dan menerima kehadirannya. Mungkin juga dapat ditafsirkan ada nya perintah bathin orang yang hendak bertamu kepada bathin pihak nu di pasamoan.

Contoh perintah bathin seperti diatas dapat dilihat dari jangjawokan tentang Asihan (penarik) seperti dibawah ini : Ka Indung anu ngandung-Ka Rama anu ngayuga-Ka Indung nu teu ngandung-Ka Rama anu teu ngayuga-kadu lur opat kalima pancer-Pang nepikeun ieu hate-Ka Indung na anu ngandung-Ka Rama na anu ngayuga-Ka Indung na nu teu/ngandung-Ka Rama anu teu ngayuga-Kadulur na opat kalima pancer-Kalawan kanu ngurus ngaluis-hirup jeung huripna... (sianu)...../ Pamugi sing ....

Dari jangjawokan diatas ditemukan ada perintah bathin (rasa) dari pembaca jangjawokan kepada bathin (rasa) orang yang dituju, untuk melaksanakan apa yang dikehendakinya. Perintah dan urusan koridor bathin ini sangat nampak ketika pemohon memerintahkan bathinnya untuk menyampaikan ke pada bathin tujuannya. Seperti ada eksistensi bathin ibu yang mengandung maupun yang tidak mengandung serta ayah yang melindungi dan yang tidak melindungi). Kemudian dise but pula eksistensi dari saudara yang empat dan pan cernya.

Tentang empat dan pacernya ini ada wawacan yang menje laskan maksudnya, sebagaimana dibawah ini : Coba riksa anu opat nu jadi bakal manusa bumi, geni, banyu jeung angin. Bumi metukeun cahaya hideung, nu nyata jadi pangucap. Geni metukeun cahaya beureum, nu nyata jadi panguping. Angin metukeun cahaya ko neng, nu nyata jadi pangangseu. Banyu metukeun caha ya bodas, nu nyata jadi paningal. ..... Nu metukeun cahaya hideung, tina bumi malaikat sawi ah. Nu metu keun cahaya beureum, tina geni malaikat tamarah. Nu metukeun cahaya koneng, tina anginna malaikat mutmainah, nu metukeun cahaya bodas, tina banyu malaikat loamah. Anu opat ngalebur ngajadi hiji, ngajadi papancer ning manusa.

Dalam konteks yang sama ditemukan pula istilah spiritual yang lajim digunakan penganut agama islam. Sehingga kuasa imajiner jika ditafsirkan yang gaib atau makhluk terasa ku rang pas.

JAMPE UNGGAH : Ashadu sahadat bumi-Ma ayu malebetan-Bumi rangsak tanpa werat-Lan tatapakan ing Muhammad-Birahmatika ya arohmana rohomin

JAMPE TURUN : Allohuma ibu bumi-Medal tapak tatapakan-Turun wawa yang ing Muhamad-Birahmatika ya arohma rohimin.

Jika saja ditelaah lebih lanjut dari kedua jangjawokan ter akhir, kiranya menjadi maklum, bahwa permohonan bathin kepada sesuatu ”Yang Gaib” dimintakan ijin terlebih dahulu kepada ”Yang Maha Gaib”, atau dapat juga disimpulkan bah wa atas kehendak yang Maha Gaib maka Yang Gaib diperin tahkan. Mungkin lebih bijak jika mendefinisikan jangjawokan dengan cara menggunakan paradigma dari para pengguna nya, yakni masyarakat Sunda tradisional. Ketika mengkaji dan menemukan sejarah diri akan terungkap ada tiga unsur yang menyebabkan manusa hirup jeung hurip, yakni unsur lahir (raga) ; bathin (hidup) dan kuring (aku). Kuring atau aku bertindak sebagai driver bagi lahir dan bathin, bagi raga jeung hirupna. Aku pula yang memanaje raga dan bathin. Da ri paradigma tersebut tentunya dapat disimpulkan, bahwa nu gaib itu bukan sesosok makhluk yang ada diluar dirinya, mela inkan nu ngancik dina dirina. Jika ada sanggahan ma salah spi ritualnya, paradigma yang bisa digunakan tentang pemaha man kesalehan urang Sunda Buhun adalah panggih jeung hyang tanpa balik kadewa (kembali kepada Dzat asal nya bukan kepada Dewa).

PEMBERI PERINTAH
Para pengguna jangjawokan bertindak sebagai pemberi pe rintah bathin, paling tidak sebagai pihak yang menginginkan sesuatu. Oleh para sastrawan diposisikan sebagai pihak yang lebih kuat terhadap penerima perintah. Misalnya didalam jampe masamoan : Nu ngariung jiga lutung-Nu ngarendeng jiga monyet-Nya aing mandahna ……....... kakeureut ka sieup ku pohaci awaking, (atau) : Curuk aing curuk angkuh-Bisa ngangkuh putra ratu …… mangka reret soreang-soreang ka badan awaking.

Sipemberi perintah hemat saya tidak selamanya memposisi kan diri sebagai pihak yang lebih kuat, karena ada juga ke cenderungan kalimat yang dapat ditafsirkan sebagai permo honan atau himbauan, bukan perintah. Jika diperhadapkan dengan yang kuat dan yang lemah, maka sangat tepat jika ia disebutkan sebagai pihak yang lebih rendah dan sedang me mohon sesuatu untuk dikabulkan. Suatu hal yang sering terlu pakan dalah sifat Ki Sunda yang senantiasa menjaga harmo ni,sebagaimana layaknya masyarakat agraris senantiasa men jaga harmoni dengan alam sehingga antara alam dengan diri nya tidak ada batasnya. Inilah yang disebutkan budayawan sebagai puncak mitis spiritualitas, yang tidak dapat dimiliki semua manusia.

Tipe jangjawokan yang ada kaitannya dengan menjaga har moni alam dimaksud sebagaimana yang ditemukan di dalam jampe nyimpen beas (menaruh beras) : Mangga Nyi Pohaci-Nyimas Alane Nyimas Mulane-Geura ngalih ka gedong manik ratna inten-Abdi ngiringan dst.

Kalimat tersebut ini jauh dari unsur memerintah, namun me naruh harapan besar untuk dilakukan, sehingga lebih tepat jika dikatagorikan membujuk untuk melakukan.

Contoh lainnya seperti dalam Jampe Ngisikan (mencuci beras) : Mangga Nyimas Alene Nyimas Mulane-Geura siram dibanyu mu’min-Di Talaga Kalkaosar-Abdi ngiringan ... dst”.

Dari beberapa jangjawokan tertentu, seperti pangabaran atau asihan, penyatuan bathin dan kandungan jangjawokan dilakukan melalui proses kuru cileuh kentel peujit (berpuasa atau semacam tirakat). Mungkin ini untuk menumbuhkan ke sungguhan dan keteguhan hati serta keyakinan agar tujuan tersebut bisa dicapai. D

idalam jangjawokan sering ditemukan adanya pengulangan kata-kata yang bersifat imperatif atau persuasif, misalnya didalam jampe belajar : Bray padang, Bray caang-Caangna salalawasna,-lawasna Saumur kula. (Atau) : Mangka langgeng mangka tetep-mangka hurip kajayaan.

Jika dicermati kalimat ini ada semacam penegasan seperti dari istilah “Bray Padang - Bray Caang”, yang kurang lebih maksudnya sama, yakni terang benderang. Atau dalam kali mat “Mangka Langgeng - Mangka Tetep”, yang artinya kurang lebih agar kekal dan abadi. Namun didalam yang diniatkan, penegasannya dapat dipahami sebagai yang menunjukan kesungguhan dari Pemohon agar tercapai apa yang dikehen dakinya.

PENUTUP
Sangat sulit mendifinisikan jangjawokan, kecuali dari kandu ngan keinginan yang termaktub didalam jangjawokan itu sen diri. Memang ada pernyataan yang meminta kepada kekuatan gaib, namun ditemukan pula adanya upaya untuk mengu atkan bathin, dan negasi tentang eksistensi Tuhan. Jika saja dinyatakan sebagai perintah, itupun sulit didefinisikan, mengingat ada pula jangjawokan yang isinya memohon atau meng himbau, agar yang dimohon dapat memberikannya dengan ikhlas.

Jangjawokan adalah hasil cipta, karsa dan rasa Ki Sunda. Memiliki akar kesejarahan yang mandiri. Sejalan dengan per kembangan dan sejarah pemahaman tentang keyakinan dan sejarah diri, bahkan keberadaanya pernah berperan sebagai penyembuh. Pada masa lalu, jangjawokan bukan sekedar pui si yang dapat dinikmati kata-katanya, namun diyakini memi liki kekuatan spiritual. Biarlah jangjawokan diampihan seba gai sastra dan puisi, agar tidak hilang dan dapat terkabarkan dikemudian hari.

Mun seug tea mah aya nu nyungsi rusiah jangjawokan, di paluruh nepi ka wates wangenna. Tinangtu bakal panggih jeung sajatining hirup jeung huripna. Nu gaib lain makhluk nu misah tina ingsunna. Nu ngulon, nga ler, ngetan jeung ngidul, lain nu nyengkal tina pancerna. Sakabeh aya na hate jeung rasana, aya dina uteuk jeung pikiranana. Ibarat gula jeung amisna, uyah jeung asin na, ngajirim ngajadi hiji, kalawan tinekenan bakal kabu ka rusiah, saha ari urang ? timana ari urang ? jeung rek kamana ari urang ?. Sabab mun manusa geus wawuh jeung dirina tinangtu bakal wawuh ka Gustina.(Cag)

Rabu, 13 Juni 2012

Istilah Sunda

Penggunaan istilah Sunda saat ini diidentifikan dengan isti lah Jawa Barat, padahal secara histori memiliki sejarah yang berbeda. Kedua istilah tersebut mengalami perubahan pe ngertian dan penafsiran, sehingga sering terjadi kekeliruan dan keragu-raguan dalam penggunaannya, terutama ketika istilah Sunda hanya dikonotasikan politis, dianggap sukuis me, sehingga terpaksa istilah Sunda dalam pergaulan sosial dan budaya harus diganti dengan sebutan Jawa Barat.

Istilah Sunda dalam catatan masa lalu diterapkan untuk me nyebutkan suatu kawasan, atau gugusan kepulauan yang ter letak diwilayah lautan Hindia Sebelah Barat (Sunda besar dan Sunda kecil), bahkan istilah Sunda digunakan untuk me nunjukan gugusan kepulauan tersebut didalam peta dunia, kecuali di Indonesia. Istilah Sunda ditemukan pula di dalam prasasti dan naskah sejarah, digunakan untuk menyebutkan batas budaya dan kerajaan, bahkan bukan hanya terbatas di dalam yuridiksi penerintahan Jawa Barat saat ini, melainkan jauh kewilayah Jawa Tengah, didalam Catatan Bujangga Ma nik (abad ke-16) disebut Tungtung Sunda.

Menurut Edi S. Ekadjati dalam pidato pengukuhan jabatan gu ru besarnya yang berjudul SUNDA, NUSANTARA, DAN INDONE SIA SUATU TINJAUAN SEJARAH (1995:3–4) memaparkan bahwa: Secara historis, Ptolemaeus, ahli ilmu bumi bangsa Yunani, merupakan orang pertama yang menyebut Sunda sebagai na ma tempat. Dalam buku karangannya yang ditulis sekitar tahun 150 Masehi ia menyebutkan bahwa ada tiga pulau yang dinamai Sunda yang terletak di sebelah timur India (At mamihardja, 1958: 8). Kiranya berdasarkan informasi dari Ptolemaeus inilah, ahli-ahli ilmu bumi Eropa kemudian meng gunakan kata Sunda untuk menamai wilayah dan beberapa pulau yang terletak di sebelah timur India. Hal yang sama di ungkapkan oleh seorang ahli geologi Belanda R.W. van Bem melen menjelaskan bahwa Sunda adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menamai suatu daratan bagian barat laut India Timur, sedangkan dataran bagian tenggaranya di na mai Sahul.

BEBERAPA PENGERTIAN SUNDA
Rouffaer (1905: 16) menyebutkan, bahwa kata Sunda berasal dari pinjaman kata asing berkebudayaan Hindu, kemungkin an dari akar kata SUND atau kata SUDDHA dalam bahasa Sanse kerta yang mempunyai pengertian bersinar, terang, putih (Williams, 1872: 1128, Eringa, 1949: 289). Dalam bahasa Ja wa Kuno (Kawi) dan bahasa Bali pun terdapat kata sunda, de ngan pengertian: bersih, suci, murbi, tak tercela/bernoda, air, tumpukan, pangkat, waspada (Anandakusuma, 1986: 185-186; Mardiwarsito, 1990: 569-570; Winter, 1928: 219).

Menurut Gonda (1973: 345-346), pada mulanya kata SUD-DHA dalam bahasa Sansekerta digunakan untuk menyebut kan sebuah gunung yang menjulang tinggi di bagian barat Pu lau Jawa, dari jauh tampak putih bercahaya karena tertutup oleh abu yang berasal dari letusan gunung tersebut. Gunung Sunda itu terletak di sebelah barat Gunung Tangkuban Para hu. Kemudian nama tersebut diterapkan pula pada wilayah tempat gunung itu berada dan penduduknya. Mungkin sekali pemberian nama Sunda bagi wilayah bagian barat Pulau Ja wa terinspirasi oleh nama sebuah kota dan atau kerajaan di India yang terletak di pesisir barat India antara kota pelabu han Goa dan Karwar (ENI, IV, 1921: 14-15). Selanjutnya, Sunda dijadikan nama kerajaan di bagian barat Pulau Jawa yang beribukota di Pakuan Pajajaran, sekitar Kota Bogor se karang. Kerajaan Sunda ini telah diketahui berdiri pada abad ke-7 Masehi dan berakhir pada tahun 1579 Masehi (Danasas mita dkk, 1984: 1-27; Danasasmita dkk, IV, 1984; Djajadi niningrat, 1913: 75).

R. Mamun Atmamihardja, dalam bukunya Sejarah Sunda I (1956) mencatat beberapa arti yang didasarkan pada berba gai kamus bahasa, yaitu :
Sanksakerta : - Sopan, bersinar, terang, putih;
- Nama Dewa Wisnu;
- Ksatriya Buta (daitya) dalam cerita Upa Sunda dan Ni Sunda
- Ksatriya Wanara dalam cerita Ramayana
- Nama Gunung di Bandung Utara
Kawi :
- Air, tumpukan, pangkat, waspada
J a w a :
- Bersatu; penyusun; dua (nama chandrasang kala)
- Unda - naik; Unda – terbang.
- Sunda :
- Saunda atau Saundana Lumbung Padi
- Sonda – bagus; indah; menyenangkan;
- Sonda – terkenal
- Sonda – laki laki tampan
- Sundara – nama Dewa Kamajaya
- Sundari – perempuan cantik

DATARAN- KEPULAUAN SUNDA
Bagi masyarakat yang mengenyam pendidikan pada medio 1960 an, istilah Sunda masih ditemukan didalam mata ajar Ilmu Bumi, suatu istilah yang menunjukan gugusan kepulau an yang disebut Sunda Besar dan Sunda Kecil.

DATARAN SUNDA dikelilingi oleh sistem Gunung Sunda yang me lingkar (CIRCUM-SUNDA MOUNTAIN SYSTEM) yang panjangnya se kitar 7000 km. Dataran Sunda itu terdiri dari dua bagian uta ma, yaitu (1) bagian utara yang meliputi Kepulauan Filipina dan pulau-pulau karang sepanjang Lautan Pasifik bagian ba rat dan (2) bagian selatan yang terbentang dari barat ke ti mur sejak Lembah Brahmaputera di Assam (India) hingga Maluku bagian selatan. Dataran Sunda itu bersambung deng an kawasan sistem Gunung Himalaya di barat dan dataran Sa hul di timur (Bemmelen, 1949: 2-3).

Selanjutnya, sejumlah pulau yang kemudian terbentuk di da taran Sunda diberi nama dengan menggunakan istilah Sunda pula, yakni KEPULAUAN SUNDA BESAR dan KEPULAUAN SUNDA KECIL. Kepulauan Sunda Besar ialah himpunan pulau yang be rukuran besar yang terdiri atas pulau-pulau: Sumatera, Jawa, Madura, dan Kalimantan. Adapun Kepulauan Sunda Kecil me rupakan gugusan pulau-pulau: Bali, Lombok, Sumbawa, Flo res, Sumba, Timor (Bemmelen, 1949: 15-16). Namun kemudi an istilah Sunda Besar dan Sunda Kecil tidak dipakai lagi da lam percaturan ilmu bumi Indonesia.

Pendapat diatas tentunya mendekati paradigma masyarakat saat ini yang sedang mencari jejak Benua Antlantis, seperti Stephen Oppenheimer, seorang Profesor dari Universitas Oxford dan Arysio Santios, Profesor dari Brazil. Konon berda sarkan penemuan para ahli Amerika dan Jepang, yang menga cu pada ciri ciri kehidupan dan genetika manusianya, benua tersebut berada diwilayah yang saat ini disebut dataran Sunda. Didaerah ini pun ditemukan jejak arkeolog peningga lan prasejarah, seperti Situs Gunung Padang yang berada dibeberapa tempat, seperti Cianjur dan Ciwidey. Beluim lagi penemuan di Bukit Dago dan Gunung Masigit. Terakhir digu nung lalakon.

Oppenheimer dalam diskusi bedah bukunya berjudul ‘Eden in The East’ di gedung LIPI, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Pu sat, Kamis 28 Oktober 2010, menyebutkan, bahwa : Sejarah selama ini mencatat bahwa induk peradaban manusia mo dern itu berasal dari Mesir, Mediterania dan Mesopotamia. Tetapi, nenek moyang dari induk peradaban manusia mo dern berasal dari tanah Melayu yang sering disebut deng an Sundaland atau Indonesia. Apa buktinya? “Peradaban agrikultur Indonesia lebih dulu ada dari peradaban agrikul tur lain di dunia. Dalam perjalanan yang dilakukannya, Op penheimer dimulai dengan komentar tanpa sengaja di sebu ah desa zaman batu di Papua Nugini. Dari situ dia mendapati kisah pengusiran petani dan pelaut di pantai Asia Tenggara, yang diikuti serangkaian banjir pasca-sungai es hingga me ngarah pada perkembangan budaya di seluruh Eurasia. Op penheimer meyakini temuan-temuannya itu, dan menyim pulkan bahwa benih dari budaya maju, ada di Indonesia. Buku ini mengubah secara radikal pandangan tentang pra sejarah.

Pada akhir Zaman Es, banjir besar yang diceritakan dalam kitab suci berbagai agama benar-benar terjadi dan meneng gelamkan paparan benua Asia Tenggara untuk selamanya. Hal itu yang menyebabkan penyebaran populasi dan tumbuh suburnya berbagai budaya Neolitikum di Cina, India, Meso potamia, Mesir dan Mediterania Timur. Akar permasalahan dari pemekaran besar peradaban di wilayah subur di Timur Dekat Kuno, berada di garis-garis pantai Asia Tenggara yang terbenam. “Indonesia telah melakukan aktivitas pelayaran, memancing, menanam jauh sebelum orang lain melakukan nya.” Oppenheimer mengungkapkan bahwa orang-orang Poli nesia (penghuni Benua Amerika) tidak datang dari Cina, tapi dari pulau-pulau Asia Tenggara. Sementara penanaman be ras yang sangat pokok bagi masyarakat tidak berada di Cina atau India, tapi di Semenanjung Malaya pada 9.000 tahun lalu.

Pendapat ini tentunya menuai tanggapan dari berbagai pihak dari yang mendukung sampai dengan yang tidak percaya, bahkan banyak pula para akhli Indonesia maupun para In donesianis menyangkal pendapatnya. Persoalannya sekarang mampukah kita menemukan jawaban atas pencarian terse but, atau hanya ‘bakutet’ seperti “monyet ngagugulung kala pa ?”. Jika dikelak kemudian hari pertanyaan tersebut ter jawabkan, tentunya akan mampu merubah peta kesejarahan dunia.

DIDALAM PRASASTI DAN NASKAH KUNA
Di bidang sejarah menurut Ekadjati (hal.2) : istilah Sunda yang menunjukan pengertian wilayah di bagian barat Pulau Jawa dengan segala akitivitas kehidupan manusia didalam nya, muncul untuk pertama kalinya pada abad ke-9 Masehi. Istilah tersebut tercatat dalam prasasti yang ditemukan di Ke bon Kopi, Bogor beraksara Jawa Kuna dan berbahasa Melayu Kuna. Bahwa terjadi peristiwa untuk mengembalikan kekua saan prahajian Sunda pada tahun 854 Masehi. Pada waktu itu sudah diketahui adanya suatu wilayah yang memiliki pengua sa yang diberi nama Prahajian Sunda. Ada juga yang menye butkan istilah ini telah dimuat dalam Prasasti Kabantenan. Prasasti tersebut menjelaskan tentang suatu daerah yang disebut Sundasembawa.

Data lain yang menyebutkan tentang istilah Sunda ditemu kan pula, dengan penjelasan: “pemerintahan Suryawarman meninggalkan sebuah prasasti batu yang ditemjukan di kam pung Pasir Muara (Cibungbulang) di tepi sawah kira-kira 1 kilometer dari prasasti telapak gajah peninggalan Purnawar man. Prasasti ini berisi inskripsi sebanyak 4 baris. Bacaannya (menurut Bosch) ;
  • ini sabdakalanda juru pangambat i kawihaji panyca pasagi marsandeca barpulihkan haji su – nda. (Ini tanda ucapan Rakryan Juru Pangambat dalam [tahun Saka] 458 [bahwa] pemerintahan daerah dipulihkan kepada raja Sunda”.
Suryawarman di dalam sejarah tatar Pasundan tercatat seba gai raja Tarumanagara ketujuh. Diperkirakan memerintah pada tahun 457 sampai dengan tahun 483 Saka, bertepatan dengan tahun 536 sampai dengan tahun 561 masehi, sedang kan tahun 458 Saka bertepatan dengan 536 masehi atau abad ke enam masehi. Sampai saat ini tidak kurang dari 20 buah jumlah prasasti yang ditemukan di wilayah Jawa Barat sekarang.

Prasasti dimaksud menurut waktunya dapat dikelompokan menjadi :
(1) prasasti Tarumanagara
(2) Sunda
(3) Rumantak
(4) Kawali
(5) Pakuan Pajajaran.

Nama-nama raja yang terulis dalam prasasti tersebut, yakni :
(1) Rajadiraja Guru
(2) Purnawarman
(3) Haji (raja) Sunda
(4) Sri Jayabupati
(5) Batari Hyang
(6) Prabu Raja Wastu – Niskala Wastu Kencana
(7) Ningrat Kencana (Dewa Niskala)
(8) Prabu Guru Dewataprana (Sri Baduga Maharaja).

Kisah yang dimaksudkan Ekadjati tersebut sama dengan yang dimaksud Pleyte (1914), kisah berdirinya kerajaan Sun da terdapat dalam naskah Kuna dan berbahasa Sunda Kuna. Pendiri dari kerajaan Sunda adalah Terusbawa. Sedangkan eksistensinya ditemukan dalam naskah Nagarakretabhumi (sumber sekunder), yang menjelaskan Terusbawa memerin tah pada tahun 591 sampai dengan 645 Saka, bertepatan dengan tahun 669/670 sampai dengan 723/724 Masehi.

Kisah berdirinya Sunda sebagai nama kerajaan di dalam Pustaka Jawadwipa I sarga 3 dikisahkan, sebagai berikut :
Telas karuhun wus hana ngaran deca Sunda tathapi ri sawaka ning rajya Taruma. Tekwan ring usana kang ken ngaran kitha Sundapura. Iti ngaran purwapras tawa saking Bharatanagari. (Sesungguhnya dahulu telah ada nama daerah Sunda tetapi menjadi bawahan kerajaan Taruma. Pada masa lalu diberi nama (kota) Sundapura. Nama ini berasal dari negeri India).
Generasi muda sekarang lebih memahami batas sunda bagi an timur adalah Cirebon. Penafsiran demikian tidak dapat di salahkan, mengingat pada masa Belanda yuridiksi Propinsi Ja wa Barat dibatasi hanya sampai Cirebon. Ekadjati dalam tuli sannya tentang Sajarah Sunda mengemukakan, bahwa :
Tanah Sunda perenahna di beulah kulon hiji pulo anu ayeuna jenenganana Pulo Jawa. Ku kituna eta weweng kon disebut oge Jawa Kulon. Ceuk urang Walanda mah West Java. Sacara formal istilah West Java digunakeun ti mimiti taun 1925, nalika pamarentah kolonial nga degkeun pamarentah daerah anu statusna otonom sarta make ngaran Provincie West Java. Timimiti za man Republik Indonesia (1945) eta ngaran propinsi anu make basa Walanda teh diganti ku basa Indonesia jadi Propinsi Jawa Barat’.
Wilayah Tarumanagara pada masa Purnawarman membawa hi 46 kerajaan daerah. Jika dibentangkan dalam peta daerah tersebut meliputi jawa bagian barat (Banten hingga Kali Sera yu dan Kali Brebes Jawa Tengah). Paska pemisahan Galuh secara praktis kerajaan Sunda terbagi dua, sebelah barat Su ngai Citarum dikuasai Sunda (Terusbawa) dan sebelah Su ngai Citarum bagian timur dikuasai Galuh (Wretikandayun). Penyatuan kembali Sunda dengan Galuh dimasa lalu terjadi beberapa kali, seperti pada masa Sanjaya, Manarah, Niskala Wastu Kancana dan Sri Baduga Maharaja.

Untuk menyelusuri batas budaya, ada beberapa versi yang dapat diacu : Pertama, berdasarkan Naskah Bujangga Manik, yang mencatatkan perjalanannya pada abad ke-16, mengun jungi tempat-tempat suci di Pulau Jawa dan Bali, naskah ter sebut diakui sebagai naskah primer, saat ini disimpan di Per pustakaan Boedlian, Oxford University, Inggris sejak tahun 1627, batas kerajaan Sunda di sebelah timur adalah sungai Cipamali (kali Brebes) dan sungai Ciserayu (Kali Serayu) Ja wa Tengah. Dalam catatan Bujangga Manik disebutkan deng an isitilah Tungtung Sunda, bahkan menurut Wangsakerta, : wilayah kerajaan Sunda mencakup beberapa daerah Lam pung. Hal ini terjadi pasca pernikahan antara keluarga kera jaan Sunda dan Lampung. Hanya saja Lampung dipisahkan dari bagian lain kerajaan Sunda oleh Selat Sunda. Disisi lain nya. Sunda memang tidak membentuk kerajaannya sebagai kerajaan Maritim.

Kedua, menurut Tome Pires (1513) dalam catatan perjalanan nya, yang kemudian dibukukan dalam suatu judul Summa Oriental, menyebutkan batas wilayah kerajaan Sunda : ada juga yang menegaskan, kerajaan Sunda meliputi setengah pulau Jawa. Sebagian orang lainnya berkata bahwa kerajaan Sunda mencakup sepertiga pulau Jawa ditambah seperdela pannya lagi. Keliling pulau Sunda tiga ratus legoa. Ujungnya adalah Cimanuk

KERAJAAN SUNDA
Di dalam buku Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat (RPMSJB), uraian tentang kerajaan sunda nampak nya dibatasi sejak Maharaja Terusbawa sampai dengan Citra ganda, atau sejak tahun 669 M sampai dengan tahun 1311 M. Hal ini dapat dipahami mengingat pembahasan kerajaan-ke rajaan yang ada di tatar Sunda diuraikan tersendiri, seperti Sunda, Galuh, Kawali dan Pajajaran.

Pembahasan kesejarahan ini jauh lebih luas dibandingkan dengan paradigma masyarakat tradisional yang selalu mengait kan Sunda dengan simbol-simbol Pajajaran, atau kerajaan Sunda terakhir. Jika budaya Sunda hanya dipahami hanya sebatas Pajajaran, dengan satu-satunya raja yang terkenal, yakni Prabu Silihwangi, maka masyarakat ditatar Sunda akan berpotensi untuk makin kehilangan jejak kesejarahannya. Masalahnya adalah, mampukah masyarakat Sunda merubah paradigmanya untuk melemparkan kemasa yang lebih jauh kebelakang melebihi jejak Pajajaran dan Siliwanginya ?.

Sebutan Sunda untuk nama kerajaan di Tatar Sunda yang me ngambil dari garis keturunan Terusbawa agak kurang tepat jika dikaitkan dengan kesejarahan Sunda yang sebenarnya. Istilah Sunda sudah dikenal sebelum digunakan oleh Terus bawa, bahkan prasasti Pasir Muara yang menunjukan tahun 458 Saka (536 M) telah menyebutkan adanya raja Sunda. Secara logika sangat wajar jika ditafsirkan bahwa istilah Sunda sudah digunakan sebelum tahun tersebut, karena prasasti dimaksud tentunya tidak dibuat langsung bertepatan dengan istilah Sunda ditemukan. Dan prasasti tersebut tidak menan dakan dimulainya entitas Sunda, namun hanya menerang kan, bahwa memang telah ada penguasa Sunda yang berkuasa pada waktu itu.

Istilah Tarumanagara dimungkinkan diterapkan untuk nama kerajaan Sunda yang berada di tepi kali Citarum. Menurut be berapa versi, istilah Sunda digunakan ketika Ibukota Taru managara dipindahkan ke wilayah Bogor. Jika saja ada kaitannya antara Tarumanagara dengan Salakanagara, kemungki nan besar istilah Sunda juga sudah digunakan untuk nama ke rajaan daerah atau jejak budaya manusia yang ada di dataran Sunda.

Istilah Sunda (Sundapura) sebelumnya pernah digunakan oleh Purnawarman sebagai pusat pemerintahan. Tarumana gara berakhir pasca wafatnya Linggawarman (669 M). Terus bawa adalah menantu Linggawarman menikah dengan Dewi Manasih, putrinya. Tarusbawa dinobatkan dengan nama MA HARAJA TARUSBAWA DARMAWASKITA MANUNGGAL JAYA SUNDA SEMBAWA. Dari sini para penulis sejarah Sunda pada umum nya mencatat dimulainya penggunaan nama kerajaan Sunda

Instilah Sunda (Sundapura atau Sundasembawa) sebelumnya pernah digunakan oleh Purnawarman sebagai pusat pemerintahan. Sundapura adalah salah satu kota yang terletak di wilayah Tarumanagara. Dari Sundapura Purnawarman memerintah dan mengendalikan Tarumanagara, dan di Sundapura Tarumanagara mencapai masa keemasanya. Tarumanagara berakhir pasca wafatnya Linggawarman (669 M). digantikan oleh Terusbawa, menantunya, menikah dengan putri Linggawarman, Dewi Manasih. Tarusbawa dinobatkan dengan nama Maharaja Tarusbawa Darmawas kita Manunggala jaya Sundasembawa. Dari sinilah para penulis sejarah men catat dimulainya kerajaan Sunda.

LETAK SUNDAPURA
Tentang letak Sundapura jika dikaitkan dengan prasasti Kam pung Muara dan Prasasti Kebantenan menimbulkan perta nyaan. Karena bisa ditafsirkan, perpindahan ibukota Taruma dari Sundapura telah terjadi sejak masa Suryawarman. Prasasti tersebut menurut Saleh Danasasmita dibuat pada tahun 584, masa Tarumanagara, namun menurut para akhli lainnya dibuat tahun 854, menunjukan pada masa Kerajaan Sunda. Letak prasasti Muara dahulu termasuk berada diwilayah kerajaan Pasir Muara, raja daerah bawahan Tarumanagara sehingga dimungkin prasasti tersebut peninggalan masa Tarumanagara.

Didalam Pustaka Jawadwipa diterangkan mengenai lokasi Sundapura, :
telas karuhun wus hana ngaran deca Sunda tathapi ri sawaka ning tajyua Taruma. Tekwan ring usana kang ken ngaran kitha Sundapura. Iti ngaran purwa prasta wa saking Bratanagari. (dahulu telah ada nama daerah Sunda tetapi menjadi bawahan Tarumanaga. Pada masa lalu diberi nama Sundapura. Nama ini berasal dari negeri Bharata).
DARI TARUMANAGARA MENJADI SUNDA
Istilah Sunda didalam alur cerita kesejarahan resmi sejak Tarusbawa memindahkan pusat pemerintahan ke Sundapu ra, pada tahun 669 M atau tahun 591 Caka Sunda. Pada masa itu kekuasaan Tarumanagara berakhir dengan beralihnya tah ta Linggawar man pada tahun 669 M kepada Tarusbawa. Beri ta ini disampaikan kesegenap negara sahabat dan bawahan Tarumanagara. Demikian juga terhadap negara, seperti Cina, Terusbawa mengirimkan utusan bahwa ia pengganti Lingga warman. Sehingga pada tahun 669 M dianggap sebagai lahir nya Kerajaan Sunda.

Perpindahan dan pembangunan istana Sunda dikisahkan oleh penulis Fragmen Carita Parahyangan, sebagai berikut :
Diinyana urut Kadatwan, ku Bujangga Sedamanah nga ran Kadat wan Bima–Punta– Narayana–Madura–Sura dipati. Anggeus ta tuluy diprebokta ku Maharaja Tarus bawa denung Bujangga Sedamanah. (Disanalah bekas keraton yang oleh Bujangga Sedamanah diberi nama Sri Kedatuan Bima-Punta – Narayana – Madura – Suradi pati. Setelah selesai dibangun lalu diberkati oleh Maha raja Tarusbawa dan Bujangga Sedamanah.).
Berita yang layak dijadikan bahan kajian tentang pembangunan istana yang dilakukan Tarusbawa juga tercantum di dalam Pustaka Nusantara II/3 halaman 204/205, isinya :
”Hana pwanung mangadegakna Pakwan Pajajaran la wan Kadtwan Sang Bima-Punta-Narayanan-Madura-Suradipati ya ta Sang Prabu Tarusbawa”. (Adapun yang mendirikan Pakuan Pajajaran beserta keraton Sang Bi ma–Punta–Narayana–Madura-Suradipati adalah Maha raja Tarusbawa)
Istana sebagai pusat pemerintahan terus digunakan oleh raja-raja Sunda Pajajaran atau Pakuan Pajajaran. Istilah Pakuan Pajajaran menurut Purbatjaraka (1921) berarti istana yang berjajar Nama istana tersebut cukup panjang, tetapi berdiri masing-masing, dengan nama nya sendiri, secara berurutan disebut Bima–Punta–Narayana-Madura-Suradipati (bangunan keraton). Bangunan Keraton tersebut sama dengan yang dilaporkan oleh Gubernur Jendral Camphuijs, tanggal 23 Desember 1687 kepada atasannya di Amsterdam. Laporan diatas mendasarkan pada penemuan Sersan Scipio, pada tanggal 1 September 1697, tentang penemuan pusat Kerajaan Pajajaran pasca dihancurkan pasukan gabungan Banten dan Cirebon.

Laporan Scipio menyebutkan :
“Dat hetselve paleijs specialijck de verhaven zitplaets van den Javaense Coning Padzia Dziarum nu nog gedui zig door een groot getal tiigers bewaakt en bewaart wort”. (bahwa istana tersebut. dan terutama tempat du duk yang ditinggikan–sitinggil–kepunyaan raja “Jawa” Pajajaran, sekarang ini masih dikerumuni dan dijaga serta dirawat oleh sejumlah besar harimau).
Istilah Pakuan Pajajaran, atau Pakuan atau Pajajaran saja di temukan pula di dalam Prasasti tembaga di Bekasi. Urang Sunda kemudian terbiasa dengan menyebut nama Pakuan untuk ibukota Kerajaan dan nama Pajajaran untuk negara nya. Sama dengan istilah Ngayogyakarta Hadiningrat dan Surakarta Hadiningrat yang nama-nama keraton tersebut kemudian digunakan untuk nama ibukota dan wilayahnya.

PERPINDAHAN IBUKOTA
Pemindahan pusat pemerintahan ke Sundapura memiliki alasan, bukan karena Sundapura adalah daerah asal Terusbawa, melainkan erat kaitannya dengan masalah pemerintahan. Terusbawa menginginkan kembalinya kejayaan Tarumanagara sebagai mana pada masa Purnawarman, yang memindah kan ibukota Tarumanagara ke Sundapura. Namun tidak mem perhitungkan akibat politis dari pemindahan ibukota.

Pada saat itu kondisi Tarumanagara sudah tidak sekuat masa lalu. Tarumanagara pasca meninggalnya Purnawarman pa mornya sudah mulai turun di mata raja-raja daerah, terutama pasca kekacauan yang terjadi diintern istana. Banyak raja-raja daerah yang melakukan pembangkangan, terutama yang berada di wilayah sebelah timur Citarum. Disisi lain nama Sriwijaya dan Kalingga sudah mulai naik pamornya sebagai pesaing Tarumanagara. Dengan pertimbangan ini Wretikandayun menyatakan Galuh membebaskan diri dari Sunda. Sejak saat itu ditatar Sunda muncul dua kerajaan kembar, yakni Sunda dan Galuh.

Perbedaan Sunda dengan Galuh bukan hanya menyangkut masalah pemerintahan, bahkan budayanya. Menurut Saleh Danasasmita, Sunda dengan Galuh memiliki entitas yang mandiri dan ada perbedaan tradisi yang mendasar. Hal yang sama dikemu kakan Prof. Anwas Adiwilaga, menurutnya Urang Galuh adalah Urang Cai sedangkan Urang Sunda dise but sebagai Urang Gunung. Mayat Urang Galuh ditereb atau dilarung, sedangkan mayat Urang Sunda dikurebkeun. Penya tuan tradisi tersebut diperkirakan baru tercapai pada abad ke-13, dengan mengistilahkan penduduk dibagian barat dan timur Citarum (citarum = batas alam Sunda dan Galuh) deng an sebutan “Urang Sunda”. Sebutan tersebut bukan hasil kese pakatan para penguasanya, melainkan muncul dengan sendi rinya.

Pasca ditemukannya Prasasti Kawali 1, para ahli sejarah Sunda Kuna pada umumnya berpebdapat, bahwa : “Dengan demi kian pengertian Galuh dan Sunda antara 1333 – 1482 Masehi harus dihubungkan dengan Kawali (ibukota Sunda dengan Galuh pasca bergabung kembali) walaupun di Pakuan ada penguasa daerah. Keraton Galuh sudah ditinggalkan atau fungsinya sebagai tempat kedudukan pemerintah pusat su dah berakhir. Sedangkan Kerajaan Sunda Pra Kawali disebut-sebut hingga masa pemerintahan Citraganda.

MENJADI JAWA BARAT
Sebutan Jawa Barat berasal dari pemerintah Hindia Belanda, terjemaahan dari istilah West Java, muali muncul pada abad ke-19, tatkala Pulau Jawa telah dikuasai penuh oleh Belanda. Untuk keperluan administrasi dan militer Belanda perlu membagi Pulau Jawa kedalam beberapa bagian. Pada akhir nya Belanda membagi tiga daerah militer, yaitu Daerah Mili ter West Java, Daerah Militer II Midden Java, dan Daerah Militer III Oost Java.

Penggunaan istilah West Java secara resmi digunakan pada tahun 1925, ketika itu dibentuk Province West Java, sedang kan Province Midden Jawa dan Oost Java dilakukan pada tahun 1926. Dari sejarah masa lalu orang Sunda menginginkan menggunakan istilah Sunda untuk provinsi yang berada di Jawa Barat (Ekadjati, 2005, hal. 11). Upaya tersebut nam pak dimasa lalu. Pertama, menyosialisasikan kepada masyarakat Pasundan tentang konsekwensi dibentuknya provinsi itu, secara lisan maupun diwartakan di mass media. Kedua, mengajukan permohonan kepada pemerintahan kolonial Hin dia Belanda, agar nama provinsi ini disebut Pasundan, beribu kota di Bandung. Permohonan tersebut dipenuhi dan dikeluarkan penetapan tentang pembentukan provinsi Pasundan, sebagaimana dimuat dalam Sttatsblad no. 25 dan 378 tahun 1925). Isi staatsblad tersebut menyatakan, bahwa ..... West Java, in inheemschetalen aan te duiden als Pasoendan ....” (Jawa Barat, dalam bahasa orang pribumi (bahasa Sunda) me nunjuk sebagai Pasundan. Namun mengenai ibukotanya masih tetap menunjuk Provincie West Java beribukota di Batavia. Pada saat mewujudkan konsep negara federal di Indonesia (1948-1949), nama negara bagian yang telah di persiapkan bernama Pasundan, sekalipun pada saat persiapannya bernama Jawa Barat. Ketiga, Kongres Pemuda Sunda (1956) mengeluarkan pernyataan (proklamasi), bahwa nama Jawa Barat diganti dengan nama Sunda. Sebagai konsekwensinya nama Jawa Tengah menjadi nama Jawa Barat, sedangkan nama Pulau Jawa diganti dengan nama Nusa Selatan.

Berdasarkan undang-undang yang berlaku, sejak tahun 1925 dan pasca Kemerdekaan, nama Provinsi Jawa Barat masih tetap digunakan untuk wilayah Pulau Jawa Bagian Barat, akan tetapi lama kelamaan perkembangan di masyarakat dan karya-karya tulisan juga menggunakan istilah nama Jawa Barat, sehingga menjadi nama resmi. Istilah Sunda pada akhirnya hanya digunakan untuk menunjukan orang dan budaya yang ada di Pulau Jawa Bagian Barat. Jika saja nama Sunda digunakan untuk menunujuk wilayah, maka hanya di tujukan untuk kondisi wilayah di masa lalu, atau batas budaya.

Istilah Sunda dalam catatan masa lalu diterapkan untuk menyebutkan suatu kawasan, yakni Sunda besar dan Sunda kecil, sedangkan didalam prasasti dan naskah sejarah di gunakan untuk menyebutkan batas budaya dan kerajaannya. Batas wilayah Sunda (Pasundan) didalam Catatan Bujangga Manik (dibuat abad 16) disebut “Tungtung Sunda”. Batas yang melampaui yuridiksi Jawa Barat sekarang, yakni di timur sampai dengan Cipamali. (***)

MOHON MAAF

Untuk perbaikan dan saran anda dimohon untuk meninggalkan pesan, hasil dan jawabannya dapat dilihat di BLOG SANG RAKEAN. Hatur Nuhun







Rajah Karuhun by Agus 1960